Koboi Kampus Misterius
Biasanya seorang kutu buku
berpenampilan rapi, memakai kacamata dan bersikap layaknya orang
ber-intelektual tinggi yang memperhitungkan nilai estetika dalam segala
tindakan sebab ia memilki pengetahuan dan wawasan yang luas.
Lain halnya dengan iwan. Iwan adalah
seorang mahasiswa berpenampilan ala “koboi” kampus dengan celana serampangan
dan rambut gondrong ciri khas anak metal. Dari penampilan dan caranya bersikap
mungkin tidak ada satu orangpun yang mengira jika Iwan cermin mahasiswa yang
rajin.
Setiap harinya Iwan selalu menggoda
gadis-gadis kampus dan tertidur saat dosen sedang menjelaskan materi
perkuliahan. Kebiasaan tersebut seolah menjadi karakter iwan yang sesungguhnya.
Teman-temannyapun menjuluki Iwan dengan gelar “si pelor gentit” alias tukang
tidur dan suka menggoda gadis-gadis.
Tetapi ada hal yang menarik dari Iwan.
Meski ia terlihat seperti seorang mahasiswa serampangan dan genit. Ternyata di balik sikap
dan penampilannya terdapat sesuatu yang luar biasa tersembunyi dalam dirinya,
bak manis buah mangga mangga dibalik kulit tak mengugah slera.
Selain kutu buku ia juga rajin dalam beribadah serta
berbakti kepada orang tuanya. Sungguh berlawanan bukan. Namun itulah kenyataan
tentang seorang Iwan si “koboi” kampus.
*****
“Dugg…Duggg..Duggg…Durr!”. Terdengar
adzan subuh berkumandang.
15 menit setelah adzan subuh usai. Iwan dibangunkan oleh bunyi
tiga alarm yang begitu nyaring.
“shittt…kesiangan lagi deh! shalat
subuhnya”. Ucap Iwan dengan mata setengah merem-melek.
Padahal hanya telat beberapa menit
saja, seharusnya bukan masalah, toh iwan tidak sengaja. Harapannya bangun tepat
waktu , tapi apa yang bisa dilakukan oleh orang yang sedang tertidur. Terkadang
seseorang tertidur tanpa disadari dan terbangun diluar kehendaknya.
Bagi Iwan
tepat waktu adalah harga mati. Iwan sangat menghargai waktu. Sebab sekali waktu
berlalu sedetikpun takan dapat terulang. Begitulah presepsi iwan mengenai waktu
Selesai membasahi tubuh dan
menyucikan diri dengan membasuh beberapa bagian tubuhnya (berwudhu). Ia melaksanakan shalat dan mengaji seperti biasa. Ketika
melantunkan ayat-ayat Al-quran terasa getaran dalam diri iwan seperti sebuah
hati yang tersentuh oleh keindahan. Mengaji membawa ketenangan , Iwan merasa
dengan shalat dan membaca Al-quran menjauhkannya dari sifat malas.
Teman-teman kotsan iwan masih
tertidur pulas. Ia mencoba membanginkan temannya dengan cara halus namun tidak
berhasil. Karena merasa geram ia mengeluarkan jurus jitu untuk membangunkan
temannya yang belum kembali jua dari pulau kapuk.
“yo mannn… lala..yeye..trararar!”. Suara
musik regae dari salon aktif dengan
volume full.
Akhirnya teman-taman sekamar iwan
membelalakan mata. Mereka berguling-guling di tasa tempat tidur , sesekali
menengok ke arah Iwan. Akan tetapi suara musik yang sangat keras melebur
keinginan mereka untuk kembali memjamkan mata dan melanjutkan tidurnya.
“Iwan apa-apaan sih , ini masih
sangat pagi”. Ucap salah satu temannya.
“Ayam saja sudah berkokok, ente
bilang ini masih pagi, malu eh! .... sama ayam”. Ha-Ha-Ha tertawa puas.
*****
Matahari pagi bersinar terang di atas kampus biru
tempat Iwan menuntut ilmu. Setengah jam lebih awal Iwan berada di kampus.
Ternyata “koboi” kampus ini tidak tergolong makhluk injuri time (datang terakhir pulangnya duluan).
Kampus masih terlihat sepi, hanya ada beberapa OB
yang berkeliling untuk membuka ruang kelas yang terkunci. Iwan yang
mempersiapkan bekal buku sebelum ia berangkat menuju kampus lebih memilih duduk
di kelas ketimbang nongkrong di kantin dan meminum segelas kopi. Maklum
mahasiswa kere uang jajan pas-pasan.
Beberapa halaman dari buku yang dibawanya telah
dilumat oleh Iwan. Kalau ibarat perut, di jejali makanan terus menerus sampai
menjadi buncit. Begitulah otak iwan yang penuh dengan pengetahuan.
Tanpa disadari beberapa teman Iwan sudah masuk ke
dalam kelas. Iwan yang masih saja asyik dengan bukunya tidak menengok ataupun
berkedip walau sekejap. Mungkin kalau ada bintang jatuh Iwan akan tertimpa
tanpa menghindar. Untungnya tidak ada bintang jatuh di pagi hari. Kalau ada, orang-orang
seperti Iwan ini bias musnah satu per satu tertimpa oleh bintang-bintang yang
jatuh. Saking seriusnya.
“hahhh…gak salah liat nih..!”. Tegur salah satu
temannya.
Iwan tercengang dan segera menutup
bukunya lalu memasukan buku itu kedalam tas. “Tii..tii.. tidak, aku cuma iseng ko”. Jawab Iwan dengan gugup.
“Loh kenapa mengelak , baca buku kok
gengsi”
Iwan tidak menembali temannya. Ia
keluar dari dalam kelas dengan kepala menunduk sejajar arah jarum jam enam. Dalam
hati sambil berjalan “malunya ketahuan baca buku takut dikira sok rajin,
membuat tidak nyaman saja”.
Mungkin karena terikat dengan
penampilan serampangan Iwan malu jika ia didapati sedang membaca buku oleh
teman-temannya. Atau bisa jadi karena kebiasaannya tertidur saat dosen
menjelaskan materi perkuliahan. Yang lebih rumit, mungkin Iwan ingin menjadi si
misterius yang tidak ingin diketahui
orang kalau ia adalah seorang kutu buku.
*****
Perkuliahan telah berakhir tanpa
terasa. Iwan bergegas menuju tempat parkirk dengan tergesa-gesa. Ia berjalan
dari arah kelas menuju tempat parkir, ibarat sepasang kekasih yang menjalin
hubungan jarak jauh - long distance
relationship - akan saling
bertemu setelah terpisah oleh jarak dan waktu. Akan tetapi Iwan tidak berniat
untuk bertemu seorang kekasih atau siapapun. Lantas apa yang membuatnya begitu
tergesa-gesa.
Sesampainya di tempat parkir , lagi-lagi
keanehan tampak pada Iwan. Memakirkan motor seolah-olah hendak melakukan
tindakan curanmor. Tapi benar itu adalah motor milik Iwan. Memang aneh.
“bro mau kemana kok buru-buru
banget!”. Sapa salah seorang kawannya di kampus.
“Anu … kebelet nih udah gak nahan
pengen pup… ngeng….tancap gas”
Jadi alasan itukah yang melatar
belakangi perilaku Iwan dari semenjak keluar kelas sampai berada di tempat
parkir. Tidak rasional rasanya. Kampus Iwan yang megah ini memiliki seratus
toilet di dalamnya. Jikalau pun ada banyak mahasiswa yang ingin buang air ,
tidak semua toilet terpakai tanpa tersisa. Mengapa ia memilih untuk buang air
di kotsannya yang jelas-jelas jaraknya sangat jauh dari kampus di banding
dengan toilet yang berada dalam kampus.
Setibanya dikotsan iwan tidak
terburu-buru ke kamar mandi untuk buang air. Justru ia dengan santai melepas
baju dan mengganti pakain. Berbanding terbalik dengan alasannya ketika
dikampus.
Kotsan tidak seramai biasanya. Teman-teman
iwan yang berbeda jurusan rupanya masih mengikuti perkuliahan. Momen sepi itu Iwan
manfaatkan untuk membaca buku yang sebelumnya sempat terhambat kerena dipergoki
oleh tamannya di kampus.
Iwan membaca buku tersebut dengan khusyunya. Lembar
demi lembar ia baca dengan baik dan teliti. Kesempatan ini sudah di tunggunya
semenjak Iwan duduk di kelas. Sebenarnya ketika Iwan mengikuti perkuliahan dan
tidur dalam posisi duduk ia tidak benar-benar tertidur. Iwan sedang
membayangkan saat diaman ia melanjutkan membaca buku itu. Bertanya-tanya
tentang berapa banyak pengetahuan yang terkandung di dalamnya yang dapat ia
miliki. Semua itu timbul karena iwan memiliki rasa penasaran yang tinggi dan
tidak puas jika mebaca setengah-setengah.
“krekkk….!”. Bunyi pintu.
Rupanya teman-teman iwan sudah datang. Iwan masih
saja khusyu membaca bukunya. Ia seperti terhanyut dalam lembah harau dengan segala keindahan yang
terdapat di dalamnya. Menurut iwan buku adalah sumber pengetahuan, setiap
kata berdiri seperti sajak indah yang
menjadi kenikmatan tersendiri bagi iwan.
Acap kali iwan jatuh dalam keindahan buku yang dibacanya dan melupakan
keasyikan di sekitarnya. Akan tetapi tidak dengan shalat, meski begitu Iwan
selalu menghentikan membaca bukunya ketika adzan mulai berkumandng.
“Rajin banget baca buku wan! Kaya mau jadi presiden
aja…aha ha ha!”. Ledek salah satu temannya.
Iwan segera menutup buku dan menyembunyikannya di
balik lemari.
Karena sering di ledek teman-temannya iwan malu jika
membaca buku dengan sangat rajin. Selain itu Iwan juga ingin menjadi si misterius yang menyembunyikan isi pada
kulitnya. Sehingga teman-temannya bisa menganggap iwan seorang “koboi” kampus
sejati yang jauh dari buku dan sikap tekun dalam mengikuti perkuliahan.
Menjual Kartu Perdana
Untuk Menyambung Hidup
Memasuki akhir minggu menyedihkan. Problematika anak kost
selurhnya adalah akhir minggu. Waktu
dimana keberadaan uang semakin jauh dari harapan. Titik kemiskinan mencapai
puncak dan kebutuhan hidup menjadi sulit terpenuhi saat itu. Terutama kebutuhan
pokok seperti makan.
“kruwukkk…”. Bunyi lapar dari perut
Iwan.
Perkulliahan 3 SKS masih saja
berlangsung. Waktu demikian lambatnya berlalu. Iwan terus menerus menengok ke
arah jam dan berharap semoga berputar lebih cepat. Saking laparnya.
“ahhhh… lama sekali, ayolah segera
berakhir! Ayo jam berputarlah lebih cepat! Please!”. Ungkap Iwan dengan nada
sangat rendah.
Akhirnya perkuliahan berakhir
setelah menyiksa Iwan dalam tuntutan jasmaniyah yang terus meronta. Iwan yang
sedaritadi menahan lapar berlari layaknya orang kesurupan. Ditujunya sebuah
kantin yang terletak di pojok kampus.
“Bi …. makan , biasa pake tahu
tempe”. Dengan nafas naik turun saking capeknya berlari dalam keadaan lapar.
“Bibi menyiapkan makan untuk iwan”.
Mahasiswa, terutama anak kost terkenal dengan
julukan kantong sempit. Bukan karena ukuran kantongnya yang sempit melainkan
budaya hemat cermat yang mendarah daging dalam diri anak kost. Contohnya iwan makanpun dengan lauk tahu tempe saja,
saking memperhitungkan hidup dari hari ke hari.
“Ini nak iwan, makanannya sudah siap”. Sodor bibi
kantin.
Dengan lahap iwan menyantap makanan yang telah
dipesannya tanpa menyisakan sebutir nasi di atas piring. Iwan meraba-raba
kantongnya. Diperiksa lagi seluruh kantong celanannya. Ternyata tidak ada
sepeser uangpun.
Ia ingat ini adalah akhir minggu.
“waduh ini kan akhir minggu , aku tidak lagi
memiliki uang sepeserpun”.
“Bu maaf saya tidak memiliki uang untuk membayar
nasi tadi, bolehkah jika saya membayarnya nanti setelah dapat kiriman uang dari
orang tua”. Ucap iwan kepada ibu kantin.
Tiba-tiba muncul teman Iwan tepat disampingnya.
“sudah wan saya saja yang bayar”. Temannya yang
begitu baik hati membayar makanan Iwan.
“Terimakasih ben kamu sudah membayar makananku, maaf
aku jadi merepotkanmu”
“Sama-sama wan, jangan berlebihan toh harganya juga
tidak seberapa. Kebetulan aku masih memilki cukup uang. Jadi bukan masalah
bagiku”.
*****
Iwan yang terlahir dari keluarga berkecukupan bisa
saja meminta dengan mudah kepada orang tuanya setiap kali ia kehabisan uang.
Namun ia tidak melakukannya meskipun ini adalah akhir minggu menyedihkan
baginya. Iwan tidak mau terlalu banyak merepotkan dan terus menerus bergantung
kepada orang tuanya. Baginya hidup mandiri bukan berarti lepas dari bantuan
orang tua sepenuhnya, setidaknya sedikit meringankan beban orang tua adalah
proses menuju dewasa dan mandiri sebelum iwan memiliki pekerjaan tetap dan
berpenghasilan.
“Ayo wan ayo..putar otak! Putar otak! Bagaimana
caranya bisa mendapat uang untuk menyambung perut”. Ucap Iwan pada dirinya
sambil mengetuk-ngetukan jari telunjuk di kepala bagian kanan atas.
Ide cemerlang melintas dikepalanya.
“Ahaaaa! Minggu lalu aku pernah membeli perdana dan
mendapat diskon karena membelinya lebih dari satu. Bagaimana jika aku
menjualnya secara kolektif dan meminta bayaran terlebih dahulu”. “cemerlang
wan! Cemerlang!”. Iwan berbangga diri.
Ia langsung tancap gas menuju kostan temannya. Di
dalam kosan tersebut terlihat kerumunan mahasiswa. Ada yang mengerjakan tugas,
ada yang nobar menggunakan infokus,
ada juga yang bermain playstation.
Loh mengapa banyak sekali orang , biasanya kan kostan hanya berukuran mini
cukup untuk tidur dua atau tiga orang. Kostan itu adalah sebuah rumah dengan
empat kamar tidur, ruang TV, dapur dan tiga kamar madi. Jadi tidak heran kalau
ada banyak sekali mahasiswa di dalamnya.
“Assalamualaikum”
“waalaikumsalam”. Balas semua teman-temannya
serempak.
“perhatian! Perhatian! Teman-teman ada info penting
jadi tolong hentikan aktifitas kalian sejenak, mengingat ini sangat penting.
Begitulah cara Iwan menarik perhatin. Kalau tidak
dengan cara seperti itu mana mungkin teman-temannya yang sedang begitu asyik
dengan kesibukan masing-masing mau menanggapinya.
Semuanya terdiam dan melihat ke arah Iwan.
“Jadi begini loh! Saya berencana untuk menjual
perdana dengan kuota internet yang sangat berlimpah. Pokoknya di jamin untuk
yang suka streaming tidak akan
kecewa. Batas waktunya sangat lama sehingga kalian tidak perluriskan jika di
hari kemudian mendapat tugas yang memerlukan referensi dari internet. Siapa yang minat! Siapa yang minat!
Tinggal acungkan tangan”. Promosi iwan kepada kawannya. Ia berbicara dengan
cepat tanpa jeda koma dan titik. Khawatir jika teman-temannya memalingkan wajah
dan menutup telinga karena sebenarnya ini bukan hal yang benar-benar penting.
“Ah! Kamu wan mengganggu saja!”
“Huuu, kirain ada apa”. Teman yang lainnya dengan
jengkel.
“Ha-ha-ha! Kalau tidak begitu mana mungkin mendapat
perhatian dari kalian. Jadi siapa di antara kalian yang berminat?”.
Lima teman iwan mengacungkan tangan. Mereka berminat untuk membeli perdana yang di promosikan
iwan. Sesuai dengan ide sebelumnya iwan meminta uang terlebih dahulu kepada
teman-teman yang berminat.
Semua uang sudah terkumpul. Iwan menghubungi penjual
kartu perdana melalui handpone.
“Assalamualaikum…halo gan! Saya mau pesan kartu
perdana masih ada gan”. Tanya iwan dengan ramah.
“Masih gan, mau pesan berpa?”
“pesan lima gan! COD (cash on deliveri) di tempat
biasa yah!”
“oke siap gannn! OTW”
Beberapa menit berselang penjual kartu sudah tiba di
hadapan iwan. Iwan melaksanakan transaksi jual beli layaknya pengusaha kelas
dunia. Dengan tanggap dan cepat ia bernegosiasi menentukan harga agar mendapat
keuntungan yang lebih banyak.
“Oke deal”. Transaksi berakhir.
Ternyata karena Iwan membeli cukup banyak ia
mendapatkan potongan harga lebih dari sebelumnya. Ini juga berkat negosiasi
iwan yang pandai.
“Hore! Hore! Lala lala lala”. Sambil menari-nari
kegirangan.
Maklum ini pertama kalinya bagi Iwan memeperoleh
uang dari keringatnya sendiri. Sebelumnya Iwan memahami arti hidup mandiri
segala kebutuhannya selalu dipenuhi orang tuanya. Iwan merasa bangga ini
menjadi langkah awal nnbaginya untuk menemui kemandirian sejati. Meski tidak
banyak uang yang didapat, setidaknya cukup untuk mengisi perut dua hari kedepan.
“Pola fikir seseorang menentukan masa depannya. Jika
orang yang terlakhir dari keluarga berada terus menerus menyandarkan tubuhnya
di pangkuan orang tua , selamanya ia akan menjadi bayi yang tidak bisa
melakukan segala hal dengan tangannya sendiri. Kehidupan harus dijalani sebaik
mungin agar hari esok dapat kita petik buah kerja keras yang sangat nikmat”.
Tulis iwan dalam catatan hariannya untuk mengabadikan kenangan.
Hanya Puisi Untuk Ibu
Liburan
akhir semester yang hanya beberapa minggu menyudutkan Iwan dalam keraguan.
Jarak dari daerah tempat iwan berkuliah dengan kampong halamannya sangat jauh.
Jika menyebrangi lautan membutuhkan waktu berhari-hari. Sebenarnya bisa di
tempuh melalui transportasi udara namun biayaya pesawat sangat mahal
Iwan terjatuh dalam sebuah dilema.
Untuk pulang kekampung halaman ia akan menghabiskan banyak uang, sedang
rindunya kepada ibunda tercinta tak dapat di bending lagi. Sudah enam bulan
iwan tidak berjumpa dengan orang tuanya.
“Ahhh!! Bagaimana ini? Pulang!tidak
! Pulang Tidak. Kalau pulang akan menghabiskan banyak uang. Aku sebenarnya
rindu kepada ibu. Arghhh!”. Terjadi perdebatan hebat dalam hati Iwan.
Akhirnya iwan memutuskan untuk
menetap di perantauan. Meski semua teman-temannya sudah pulang tapi Iwan tidak
khawatir sebab masih ada teman lain yang seorang pribumi daerah itu. Kerinduan
dan harapan segera bertemu ibu dilupakannya. Meski amat sangat rindu sikap Iwan
yang lebih condong untuk menetap didikung oleh beberapa alasan. Pertama ia
harus melakukan perbaikan beberapa mata kuliah yang BL (Belum Lulus). Kedua
Iwan memiliki agenda bakti sosial di waktu libur tersebut. Alasan terakhirnya
yaitu takut menghabiskan banyak uang
orang tuanya untuk pulang dihari libur yang cukup singkat. Dengan beberapa
alasan tersebut iwan mengambil keputusan setelah memikirkannya matang matang.
Iwan yang gemar menulis pisi
berencana untu mengirimkan puisi kepada ibunya. Harapan Iwan melalui puisi itu
tersampaikan rindunya kepada ibu.
“Walaupun tidak pulang stidaknya aku
bisa menyampaikan seluruh rindu kepada ibu melalui puisi. Mudah-mudahan ibu
mengerti atas ketidakpulanganku”. Ungkapnya dihadapan sebuah cermin dengan
wajah lesu.
*****
Rembulan dilangit malam bersinar
begitu hangat juah kemerlap gemintang tampak begitu memukau. Sejuta onspirasi
lahir dari kerinduan iwan kepada ibunya. Sebelum semuanya hilang iwan
menuangkannya di atas selembar kertas putih dan polos melalui pena.
Untuk
Ibunda Terkasih di kampung halaman, semoga selalu dalam keadaan sehat.
Rinduku
tak jua reda bagai hujan setelah awan mendung.
Untuk
ibundaku tersayang, dalam cahayamu aku berjalan melewati kegerian negeri
perantauan.
Disini,
semua terlihat sangat asing bagiku.
Namun
kau tahu ibu.
Semakin
berliku jalan yang kutempuh , semakin terang jua cahayamu membimbingku.
Ibu
…..
Dalam
kasihmu aku teduh.
Bersama
cintamu aku teguh.
Dari
anakmu, Iwan.
Bait-bait
puisi selesai disempurnkannya. Iwan mengemas puisi itu dalam sebuah amplop yang
telah dituliskan alamat kemana amplop itu akan dikirim. Iwan tertidur nyenyak
setelah mencurahkan segala isi hatinya di atas sebuah kertas.
*****
Beberapa hari setelah surat itu
dikirm. Iwan mendapat balasan dari ibunya. Betapa senangnya hati Iwan.
Seakan ibu ada disamping Iwan dan
mengelus-Ngelus pipinya. Iwan yang meras penasaran ka nisi surat itu dengan
segera membukanya.
Untuk
anakku Iwan, semoga selalu dalam keadaan sehat.
Puisi yang kamu kirimkan sedikit
mengobati rindu ibu kepadamu. Anakku meskipun kau jauh disana, ikatan batin
yang kuat di antara kita membuatmu tersa dekat disis ibu. Ingatlah selalu akan
kewajibanmu. Kamu harus belajar dengan sungguh-sunggu. Anakku Iwan , dalam
setiap sujud ibu selalu menyelipkan namamu. Berdoa kepada-Nya semoga
kebahagiaan ada di setiap langkah yang kau tempuh. Cukup sekian dari ibu.
Wassalam.
Airmata
iwan mengalir dari kedua bola matanya. Iwan terharu setelah membaca surat dari
ibunya. Semangatnya untuk menuntut ilmu semakin memuncak.
Iwan berjanji pada dirinya.
“Suatu hari nanti aku kan menjadi
orang yang besar. Aku tidak ingin menyi-nyiakkan apa yang telah ibu berikan
kepadaku. Seluruh kasih saying dan pengorbananya”. Ucapnya dengan pipi yang
basah oleh airmata.
Aku Memilih
Menyayangimu Dengan Benar
Mentari pagi di sebuah sekolah
menengah atas begitu hangatnya bersinar. Angisn sepoy-sepoy mengalir
menggerakan dedaunan disekitar. Disana ada orang-orang yang melintasi gerbang, diantara mereka ada yang
sendiri dan bergerombol. Sekolah Iwan Memang terkenal sejuk karena banyak
pepohonan.
Jam 07.15 tepat bel berbunyi. Iwan
masih saja asyik nongkrong dikantin bersama kawan-kawannya. Meski bel telah
berlalu ia dan teman-temannya sengaja masuk paling akhir setelah guru berada
dalam kelas. Ini sikap yang tidak patut untuk dicontoh.
“Heyyy! Apa-apaan kalian bel sudah
berbunyi masih saja nongkrong disisni. Ayo cepat masuk. Mau bapak hukum kalian
semua”. Bentak salah satu guru.
Merekapun berlarian bagai sekawanan
waria yang sedang dirazia. Dan menuju kelasnya masing-masing.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam. Dari mana kamu
wan?”
“Dari kamr mandi pak”. Dengan nafas
sedikit sesak.
Iwan berbohong kepada gurunya. Jika
ia mengatakan yang sebenarnya pasti akan dimarahi. Lagi-lagi iwan mencerminkan
sikap yang tidak patut dicontoh. Jujur itu terkadang menyakitkan namun
kejujuran selalu berujung indah.
Sekolah Iwan yang berbasic agama memiliki beberapa
mata pelajaran keagamaan. Pada jam pertama ini adalah mata pelajaran Quran hadist yang membahas mengenai al-quran dan as-sunnah.
Seperti biasa iwan duduk di bangku
deretan belakang. Sejenak ia memeperhatikan saat guru menerangkan pelajaran.
Sejenak ia pura-pura tidur di atas meja dengan beralaskan kedua tangannya. Lalu
terbangun lagi. Entah iwan mengantuk atau ia jenuh dengan mata pelajaran.
“pluk”. Bunyi kapur yang menyentuh
kepala Iwan.
“Tidak sopan. Saat guru menerangkan
kamu malah tidak memeprhatikan dengan baik”.
Iwan merasa tak enak hati atas
kelakuannya di kelas. Seluruh kegelisahan ia tahan. Iwan memperhatikan
pelajaran dengan baik. Guru itu terus menjelaskan materi pelajaran dengan baik.
Kali ini membahas tentang zina. Lalu guru itu menjelaskan salah satu ayat
al-quran :
“Dan janganlah kalian
mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan
suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32)
Iwan yang memiliki seorang kekasih
penasaran apakah pacara termasuk zina atau tidak. Namun pengetahuan agamanya
belum cukup. Iwan tidak bisa menyimpulkan dengan akal dan fikirannya begitu
saja. Ia memilih untuk menanyakan kepada gurunya.
“pak
saya mau bertanya. Apakah pacaran itu termasuk dalam zina?”. Tanya Iwan penuh
semangat.
Gurunya menjawab.
“pacaran itu tidak termasuk dalam
zina. Namun ketika kamu berduaan dengan kekasih kamu dan saling menatap satu
sama lain, diantara tatapan itu ada zina. Saat kamu berpegangan tangan dengan
kekasih kamu, diantara sentuhan tangan itu ada zina. Dan saat kamu berduaan
dengan kekasih di tempat sepi, diantara
kamu berdua ada syaitan sebagai orang ketiga yang akan menghasut kamu untuk
berbuat zina. Pacaran tiidak termasuk dalam zina, akan tetapi mendukung
perbuatan zina. Jadi pacaran boleh-boleh saja asalkan tidak teleponan, tidak
sms-an dan tidak saling bertemu”
“Huuuu!
Sama saja bohong pak buat apa pacaran”. Ucap beberapa teman iwan yang juga
memiliki kekasih.
Iwan terfikirkan masa-masa ketika
dirinya dan kekasihnya sedang berduan. Iwan sering menatap wajah keaksinya dan
keasihnyapun begitu. Iwan sering menyentuh tangan kekasihnya sembari
mengutarakan kata-kata romantis. Setelah mendengar penjelasan dari gurunya Iwan
menyadari segala perbuatan itu tidaklah baik dalam islam.
*****
Langit malam begitu gelap tanpa bintang
dan rembulan. Namun tidak ada setetes air langitpun yang turun membasahi bumi.
Bukankah langit yang tiada bintang dan rembulan itu pertanda mendung. Sesekali
mendung bukan berarti turunnya hujan. Dan kali ini memang tidak turun hujan.
Di samping rumah yang berhadapan
dengan pesawahan iwan duduk sambil memetik gitar. Lagu-lagu melankolis dengan
judul yang sama dinyanyikannya berulang-ulang. Nampaknya Iwan sedang menglami
dilema yang cukup hebat. Dimatanya tampak sedikit airmata. Menangis seperti
wanitapun rasanya tidak mungkin bagi Iwan namun ia merasa haru atas lagu yang
dinyanyikannya. Lagu itu sesuai dengan keadaan hatinya yang sedang galau.
Segelas kopi menemani kegalauan
Iwan. Tapi langit yang mendung seolah menyinggungya.
“Langit mengapa kau mendung saat
hatiku sedang kalut. Apakah kau tidak mau sedikit menghiburku dengan bintang
dan rembulan milikmu. Langit bukankah sering aku duduk disini dan menatap ke
arahmu. Namun mengapa engkau tak beracahaya saat hatiku sedang gelap.
Ahhhhhh!”. Iwan berbicara kepada langit bak pujangga. Namun ini lebih mirip
seseorang yang sedang frustasi.
Kata-kata yang di ucapkan gurunya
disekolah masih saja mengusik hati Iwan. Ia merasa bimbang apa tindakan
selanjutnya yang akan ia lakukan. Sedang iapun tahu pacaran itu tidak baik.
Memutuskan kekasihnya ia ragu mengingat teramat menyayanginya. Bersma-sampun
acapkali mendekatkannya pada perbuatan yang kurang baik.
“ahhhhhhh! Apa yang harus
kulakukan”. Ucapnnya dalam hati.
Tiba-tiba Iwan teringat artikel yang
ia baca minggu lalu. Artikel itu membahas masalah jodoh :
“jodoh
itu rahasia Allah sekalipun manusia membelokan arahnya sesuai keinginannya
tidak dapat merubah alur yang telah ditetapkan sang pencipta. Jika memang
perempuan itu, milik laki-laki itu, cepat atau lambat mereka akan saling
dipertemukan dan menyempurnakannya dalam suatu ikatan yang suci”
Sepenggal
kata-kata bijak dari artikel itu yang diingat oleh iwan.
Akhirnya
iwan mengambil keputusan yang sangat sulit diterimanya. Ia memilih untuk
memutuskan kekasihnya apapun yang terjadi. Niat Iwan cuku baik ia ingin menjaga
kehormatan dirinya dan kekasihnya dengan cara memutuskan hubungan pacaran. Iwan
menuliskan sebuah pesan yang menyatakan dirinya ingin putus :
“Assalamualaikum. Nisa aku mohon maaf
sebelumnya. Ini sangat berat bagiku. Aku ingi memutuskan hubungan kita. Semoga keputusanku mengundang
kebaikan untuk kita berdua. Harapanku, meski sudah putus bukan berarti tali
silaturahih di antara kita berakhir. Semoga kita masih bisa bersahabat. Aku
juga berharap suatu saat kelak Ia berbaik hati mempertemukan kita berdua sebagi
jodoh. Wassalam”
Airmata
Iwan tak terbendung lagi setelah menuliskan pesan putus untuk kekasihnya.
Mengingat ia sangat menyayanginya, banyak juga kenangan indah yang telah
dilaluinya bersama kekasihnya. Akan tetapi keputusan itu, Iwan menganggapnya
sebagai cara mengungkapkan rasa sayangngnya dengan benar. iwan hanya berharap suatu hari nanti ia dapat diperteumukan
kembali dengan Nisa. Pada saat itu Iwan berkomitmen untuk tidak berpacaran lagi
sebelum dirinya pantas menjemput
seorang wanita dan menjadikannya pendampig hidup.
Menebus
Kesalahan
”krining...
krining..kriningg” bunyi nyaring alarm.
Berulang kali alarm berbunyi. Namun
tak mampu membangunkan lelapnya tidur Iwan. Apakah dalam mimpi ia sedang
bertemu dengan bidadari-bidadari cantik. Lalu bidadari-bidadari itu mengikat
kaki dan tanganya , membuatnya sulit beranjak dari mimpi untuk segera melihat
kenyataan. Siapa yang tahu dengan apa yang terjadi dalam tidur iwan yang jelas
Iwan tertidur begitu pulasnya.
Ini kali pertama bagi Iwan,
terbangun paling akhir diantara teman-temannya.
Apalagi sampai dibangunkan. Biasanya ia yang bangun lebih dulu dan
membangunkan teman-temannya.
”wan..wan, bangun sudah siang”.
Temannya berusaha membangunkan Iwan.
Setelah di bangunkan oleh salah satu
temannya barulah iwan membukakan mata. Jendela dengan gorden terbuka
memperlihatkan matahari yang sudah bersinar sangat terik. Iwan menyadari hari
sudah siang. Tanpa membuang-buang waktu
dan berfikir panjang Ia bangun dan berjalan menuju kamar mandi.
”byur...byur...byur”. Iwan mengguyur
tubuh seperti orang sedang memadamkan api dari rumah yang terbakar.
”astaga ini sudah sangat siang,
kenapa kalian berdua tidak membangunkankku sih , kan aku sudah bilang kalau
susah bangun siram saja pakai air, jadi kesiangan kan”. Ambek Iwan kepada kedua
temannya.
Sebenarnya kedua teman Iwan sudah
berusaha membangunkannya berkali-kali. Bahkan sempat menggunakan jurus jitu
yang sering digunakan Iwan untuk membangunkan mereka. semua cara itu tidak
segera berhasil untuk membuatnya terbangun. Akhirnya mereka menggunakan cara
yang lebih sadis. Menggunakan cutton but dikelitikinya telinga Iwan.
Kejahilan yang cukup berhasil membuat iwan membuka mata tanpa sadar kalau dia
dibangunkan setelah dikelitik oleh kedua temannya.
Iwan menanggalkan pakaian asal pilih
pada tubuhnya. Pakaian yang belum di licin tanpa disadari dikenakannya. Tidak
menata rambut merupakan kebiasaan Iwan yang bergaya ala anak metal. Jadi tidak
masalah baginya menata rambut atau tidak sebelum ia berangkat kuliah. Pakaian
serampangan yang sering dikenakan Iwan sebenarnya bukan pakaian yang jelek.
Lebih tepatnya pakain yang banyak mengandung unsur seni, menurut Iwan. Sedikit
sobekan di celana namun tetap menggunakan baju yang di licin dengan rapih.
Tentu pakaian yang dikenakan kali ini
menjadi masalah baginya dan juga bagi orang sekitar yang mungkin
terganggu oleh penampilan Iwan.
*****
Iwan mengendarai motornya dengan
sangat cepat. Seperti seorang dragster ia memacu motornya di
jalanan lurus dan seperti valentino rossi ia menikung tajam sampai step motornya mengadu
dengan aspal jalan sehingga membuat percikan api.
Beberap menit kemudian Iwan tiba di
kampus. Dari tempat parkir sampai kelas iwan berlari sekuat tenaga. Sebelum
masuk iwan mengintip melalui jendela kelas. Ternyata perkuliahan sedang
berlangsung. Ia bimbang memilih masuk atau menunggu sampai perkuliahan selesai
.
” Masuk resikonya akan dimarahi,
kalau tidak masuk sia-sia berangkat dengan terburu-buru dari kostan”. Dialog
Iwan dalam fikirannya.
Iwan memilih untuk memasuki kelas
setelah beberpa pertimbangan yang matang. Ia akan meminta maaf kepada dosen
mata kuliah tersebut atas keterlambatannya. Mungkin kesalahan Iwan tidak mudah
untuk diterima , mengingat dosen tersebut memiliki tabiat tegas dalam mendidik
dan sikap apik dalam segala hal. Dengan
berani Iwan memasuki kelas walaupun ia sudah menduga kemungkinan yang akan
terjadi.
”Tok..Tok...Assalamualaikum”.
Sembari membuka pintu.
Presentasi sedang berjalan dengat
khidmat. Dosen mempersilahkan iwan duduk tanpa teguran terlebih dahulu. Iwan
mengurungkan niatnya untuk meminta maaf karena khawatir mengganggu
berlangsungya presentasi. Mungkin setelah perkuliahaan selesai akan lebih baik,
fikirnya. Dengan perasaan senang ia duduk di bangku deretan paling belakang.
”alhamdulilah kali ini selamat tanpa
teguran yang menyakitkan”. Ucapnya dalam hati.
Iwan mengalami revolusi
perasaan. Seketika rasa senangnya berubah menjadi penyesalan. Dosen yang
disangkannya mempersilahkan iwan duduk dengan senang hati mengutarakna teguran
di akhir perkuliahan. ”Mahasiswa itu sangat beragam dan berbeda-beda sifatnya.
Tapi orang-orang seperti iwan ini tidak layak untuk dicontoh. Sangat tidak
menghargai waktu , datang kuliah seenak maunya saja”.
Kata-kata itu terdengar menyakitkan hati Iwan. Iwan
yang selama ini merasa sebagai orang yang mengahargai waktu dan menganggap
waktu adalah hal paling berharga tentunya sanagat marah. Namun ia tidak
menanggapi perkataan dosennya , khawatir keadaan akan semakin buruk dan posisi
Iwan memang dalam keadaan bersalah.
Menunduk dan memasang muka seperti
narapidana yang sedang di adili. Sikap itu ditunjukan iwan dihadapan
teman-temannya. Setelah itu Iwan keluar mendahului dosen tanpa meminta maaf
atau mengucapkan satu patah katapun. Ia merasa sangat kesal dan tidak bisa
menerima perkataan dosennya. Keterlambatannya datang ke kampus tidak ada unsur
kesengajaan sedikitpun. Semalaman penuh Iwan mengerjakan tugas statistika
matematika yang tidak mudah untuk diselesaikan.
Duduk menyediri di taman kampus
dengan wajah yang tak enak dilihat. Perkataan dosennya masih terngiang di
telingan Iwan.
”kalau saja dosen itu tau yang sebenarnya mungkin
dia tidak akan melontarkan kata-kata yang keji seperti tadi”. Ungkap Iwan dalam
hatinya.
Rumput-rumput Jepang yang hijau disekitar
tempat Iwan duduk terlihat gundul membentuk lingaran stelah dicabuti satu
persatu olehnya. Iwan yang hanyut dalam lamunan tidak menyadari bahwa perbuatan
yang dilakukannya telah merusak keindahan lingkungan sekitar.
”Astaga apa yang kulakukan” . Sesal
Iwan.
Hari ini menjadi hari terburuk bagi
Iwan. Ia merasa amat sedih dan tak habis fikir kalau dirinya menerima kenyataan
sepahit ini.
”wan lagi ngapain kamu... duduk
sendirian disini , melongo lagi”. Sapa salah satu teman sekelasnya.
”tidak aku hanya merasa sedih, dipermalukan seperti
tadi”
”kenapa harus bersedih wan, anggap semua itu
pelajaran yang berharga”
Nasehat dari temannya melabur kesediahan iwan. Ia
menjadi termotivasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Perkataan orang
tuanya ketika Iwan hendak berangkat dari kampung halaman menuju perantauan
untuk menuntut ilmu tersirat dalam benak iwan. ”Wan kamu tahu tidak, ketika
manusia berambisi untuk menjadi yang terbaik tanpa menyertakan sang pencipta
dalam dirinya ia akan jauh dari tujuannya, namun lain halnya dengan seseorang
yang mengerahkan segala daya upaya untuk memberikan yang terbaik bagi orang
lain dan orang-orang yang dicintainya,
seluruh hidupnya akan di iringi oleh kebahagiaan dan kebaikan, sebab ada
Allah dalam dirinya”.
Wajah Iwan kembali berseri, senyum diwajahnya mulai
tampak. Ia merasa seluruh amunisi sudah terisi penuh dan siap menuju medan
pertempuran untuk memenangkan perubahan yang lebih baik.
*****
Hari ini adalah hari pertama
berlangsungnya ujian akhir semester. Pagi-pagi buta Iwan sudah tiba di kampus.
Di dalam kelas yang masih terlihat sepi iwan membaca kembali buku sebagai
persiapan menjelang ujian akhir semester. Tampat duduk barisan paling
depan sengaja di pilih Iwan .Ia berharap kejujurannya dalam mengisi soal-soal
ujian akhir semester dapat dilihat oleh dosen. Sebab orang yang duduk di
barisan paling depan tidak memilik kesempatan untuk mencontek. Biasanya budaya
mencontek dilakukan oleh orang-orang yang duduk di tempat memungkinkan seperti
barisan tengah atau belakang.
Kebetulan jam petama ujian akhir
semester yaitu mata kuliah dosen yang beberapa pekan lalu memarahi Iwan karena
keterlambatannya. Semangat Iwan semakin menjadi-jadi. Waktu lalu Iwan peranh
berjanji pada dirinya untuk menebus kesalahan atas keterlambatannya dengan cara
membutikan bahwa ia mamapu meraih nilai yang tinggi pada mata kuliah dosen
tersebut. Iwan menjadi tidak sabar untuk segera melangsungkan ujian akhir
semester.
Waktu ujian akhir semester dimulai.
Dua perwakilan masasiswa membagikan soal uijian. Iwan orang pertama yang
mendapatkan soal lantaran ia dduduk paling depan. Tanpa menunggu iwan membuka
soal-soal itu dan mulai mengisinya. Ternyata perjuangan iwan tidak sia-sia
semua materi yang di pelajarinya terdapat dalam soal-soal hujan tersebut.
Dengan mudah iwan menyelesaikan 25 butir soal lebih awal dari waktu yang di
tentukan.
Soal ujian yang sudah
diselesaikannya ia letakan di atas meja dosen. Iwan menjadi mahasiswa tercepat
di antara lainnya. Bergegas iwan keluar dari kelas dan menghampiri dosen mata
kuliah tersebut. Dosen itu sengaja duduk di luar kelas dan tidak mengawasi
secara langsung selama ujian. Ia berharap mahasiswanya menjunjung tingg budaya
jujur dalam mengerjakan soal ujian karena kesadaran diri bukan atas dasar rasa
takut karena ada yang mengawasi.
”Asalamualaikum , pak”. Iwan mencium
tangan dosen itu.
”Waalaikumsalam..Sudah beres kamu
Wan?”
”Sudah pak, saya mohon maaf atas keterlambatan saya
beberapa minggu sebelumnya”
”Iya wan...tidak apa-apa, asalkan jangan di ulangi”
Setelah meminta maaf iwan mohon pamit. Dosen itu
tersenyum kepada iwan seolah menunjukan rasa bangga kepada mahasiswanya. Iwan
kegirangan setengah mati. Ia sangat senang setelah melihat senyum terpancar
dari wajah dosennya untuk dirinya. Hari ini seluruh kebahagiaan seakan
sepenuhnya menjadi milik Iwan.
Hewan Peliharaan Atau
Buku ?
Jomblo menjadi masalah besar bagi seorang
laki-laki yang sebelumnya merasakan betapa nikmat betul dunia percintaan.
Apalagi kehidupan dikampus. Jarang sekali ada lekaki yang tidak memiliki
kekasih atau wanita yang single. Jadi
jomblo boleh-boleh saja asal jangan dibuat tampak menyedihkan.
Iwan sebenarnya tidak berkeberaan
kalau ia menyandang title jomblo. Sudah lama sejak Iwan terakhir kali
memutuskan hubungan dengan pacarnya dan tidak berencana memiiliki kekasih lagi.
Bukan masalah bagi Iwan kesendirian tanpa kehadiran seorang kekasih, dunia itu
sudah lama diselaminya. Tapi kenyataan yang tampak di sekitar kampus yang lekat
dengan percintaan membuat iwan ingin memiliki seorang kekasih lagi.
Niatnya kembali ia urungkan. Iwan
bukan tipe orang yang suka menelan ludah sendiri setelah ia mengucapkan janji.
Iwan mencoba mencari cara menghibur diri dan mengobati sepinya. Iwan yang
merasa tidak tahu akan apa yang harus dilakukannya. Meminta pendapat seorang
kawan.
“Man mau tanya nih, misalkan ada
seseorang yang merasa ada yang kurang bila menjalani hari-hari tanpa kekasih,
tetapi ia memutuskan untuk tidak berpacaran. Menurut kamu apa yang bisa
dilakukan orang itu”. Tanya Iwan, seolah benar orang lain yang mengalami
masalah itu.
“Gampang wan. Sewaktu saya tidak
memiliki pacar. Saya mencoba membeli hewan peliharaan. Itu cukup asyik. Dan
saya tidak pernah merasa kesepian tanpa kekasih”. Jawab temannya dengan mudah.
Mengikuti nasehat yang diberikan
oleh temannya. Esok harinya iwan membeli dua ekor dara di pasar tempat menjual
burung. Burng itu dipeliharanya dengan baik. Tetapi terkadang kesibukan Iwan
sering mebuat burung peliharaannya terlantar.
Ternyata cara iwan mengusir sepinya
dengan memlihara burung tidak berhasil. Burung itu mati. Bukan hal yang mudah
bagi iwan memelihara hewan disela kesibukan kampus. Iwan merasa berduka atas
kematian burung tersebut dan mengucapkan beberapa patah kata dihadappan burung
yang tiada bernyawa.
“Astaga!
Berdosa aku. Mengurungmu dalam sangkar namun membiarkanmu mati begitu saja.
Seharusnya aku tidak egois.
Duka itu menyelimuti
hati iwan. Meski yang mati hanya seekor burung peliharaan, Iwan yang sangat
perasa meneteskan airmata. Ia merasa berdosa atas kematian burung
peliharaannya. Iwan kapok dan tidak lagi-lagi akan memelihara hewan jika
akhirnya hanya membuat hewan itu mati. Seharusnya burung itu terbang bebas di
udara. Karena iwan memabatasi dunianya dalam kurungan. Hewan itu mati tanpa
melihat banyak keindahan yang ada di dunia ini.
*****
Sepuluh hari berlalu, duka atas
kematiian burung itu masih saja menyelimuti hati iwan. Iwan terus-menerus
dihantui perasaan bersalah. Disamping itu ia kembali meraskan kejenuhan karena
kejombloannya. Iwan terkadang iri melihat teman-temannya yang begitu mesra
bersama kekasihnya. Melintasi gerbang bersama, makan berdua, sampai belajarpun
berdua. betapa indahnya saat itu, saat-saat sepasang kekasih merasa dunia milik
mereka berdua.
Iwan terus mencari cara untuk
mengobati sepinya. Berulang kali ia berfikir. Sejenak dalam diam, lalu
terlintas dibenaknya akan took buku samping terminal. Ia selalu memperhatikan
took buku itu saat hendak pulang menuju kampong halaman menggunakan bus yang
ada di terminal.
Langit senja telungkup di atas terminal bus.
Di sampingya terlihat toko buku miring berjejer.
Debu mengepul di jalanan yang cukup besar. Banyak bus-bus besar keluar masuk
termina. Kehidupan terminal memang dekat dengan keramaian. Tak jarang iwan
melihas seorang bergaya pereman sedang memintai uang.
Di toko buku itu trlihat banyak
sekali buku-buku ada yang menumpuk di atas meja ada juga yang tertata rapih
dalam sebuah lemari buku biasanya. Iwan yang tidak biasa pergi ke toko buku
merasakan keanehan.
“benarkah aku menginjakkan kaki di
tempat ini? Apa tidak salah”. Tanyanya pada diri sendiri dengan angkuh.
Iwan memilah-milah buku tetapi ia
tidak tahu buku apa yang bagus untuk dibaca. Maklum ini kali pertama bagi iwan singgah di toko buku.
Sebelumnya menyentuh buku pun tidak pernah dilakukan. Iwan selalu merasa pusing
kalau mambaca buku. Entah itu sugesti atau tidak ada niatan.
“Wan sedang apa kamu disini?”. Tanya
salah seorang yang juga berkunjung ke tempat itu.
Orang itu adalah bejo teman sekampus
Iwan. Ia seorang kutu buku. Jadi sangat wajar bila ada disekitar buku setiap
waktu.
“Tidak aku hanya iseng saja. Aku
sedang mencari buku nih. Tapi tidak tahu buku apa yang menarik untuk dibaca”.
Iwan menanggapi dan meminta nasihat temannya.
Teman Iwan yang seorang kutu buku
sangat mahir memilih jenis buku seperti apa yang bagus untuk di baca. Tanpa
banyak memilih ia menunjukan salah satu buku bernuansa islami kepada iwan.
“Nih! Wan buku ini keren. Kamu pasti
tidak akan berhenti membacanya”. Temannya, sambil menyodorkan buku kepada Iwan.
Iwan yang tidak memeriksa terlebih
dahulu apa isi buku itu langsung saja membayarnya kepada kasir. Harganya cukup
menguras kantong. Berhubung buku itu sudah disodorkannya kehadapan kasir mau
tidak mau iwan memabayar.
Setibanya di kostan tanpa menunggu
lagi Iwan membuka buku yang masih terbungkus plastik. Iwan mulai membacanya. Ia
merasa tertarik isi yang ada didalamnya. Pada bab selanjutnya Ia menemukan
sebuah kalimat yang memotivasi dirinya untuk terus membaca. Kalimat itu
bertuliskan :
“apabila seseorang belajar ilmu
tanpa semangat dan merasa sudah bisa, maka ia tidak akan pernah berhasil dalam mempelajarinya.
Tetapi orang-orang yang bersemangat dan mau bersusah payah dalam mempelajarinya
itulah orang yang berhasil”
Saat
itu Iwan menjadi orang yang tertarik kepada buku. Ia haus akan Ilmu. Tanpa
membatasi minat ia membaca semua buku-nuku. Baik itu buku pengetahuan , agama,
dan yang lainnya. Iwan juga merasa dengan membaca buku dapat mengobati sepinya
hidup tanpa seorang kekasih.